Namanya sangat bule, bahkan memang benar-benar seorang bule. Siapakah Ia? Dan bagaimana ceritanya sehingga Ia bisa menjadi seorang "Siallagan"? Ibu dari tiga orang anak ini dilahirkan dengan nama Annette Horschmann, seorang keturunan Jerman yang beremigrasi ke Indonesia sejak tahun 1994.
Kecintaannya pada Danau Toba yang bagaikan surga baginya, membuat Ia yang tadinya adalah seorang traveller yang sering singgah di berbagai belahan dunia, menjatuhkan pilihannya untuk tetap tinggal di Danau Toba. Selepas lulus kuliah, pada pertengahan 1993, wanita lulusan Fakultas Hukum Ruhr University Bochum, Jerman ini memutuskan untuk meninggalkan negaranya dan mulai melakukan perjalanan "keliling dunia".
Namun takdir tak dapat ditebak, apalagi ditepis. Sejak mulai di Thailand Ia sudah mendengar tentang keindahan Danau Toba, dan ketika melanjutkan perjalanan ke Bali, Ia semakin penasaran karena mendengar (lagi) bahwa Danau Toba layak untuk dijadikan bagian dari rencana perjalanannya. Berbekal informasi tersebut, Annette mulai menggali sendiri informasi tentang Danau Toba, sampai Ia tiba pada sebuah keputusan yang memutus rantai perjalanan keliling dunia yang Ia lakukan, satu keputusan yang mungkin akan sangat Ia kenang seumur hidupnya.
Annette pun merubah rute perjalanan yang seharusnya dari Bali menuju Selandia Baru dan berakhir di Amerika Serikat, menjadi ke Danau Toba. Keputusannya tak salah, karena memang akhirnya Ia menemukan hidupnya di Danau Toba. Karena seorang diri, Annette harus menempuh perjalanan darat yang panjang dan sempat singgah di Yogyakarta, kemudian di Jakarta dan Bukit Tinggi.
Satu hal yang unik, ketika singgah di Bukit Tinggi ada seorang pemandu wisata yang mengatakan kepadanya kalau Ia akan bertemu jodoh di Indonesia. Walaupun pada awalnya tak menghiraukan, Ia sempat takjub ketika mengingat hal itu kembali, beberapa saat setelah Ia menikah dengan suaminya, Antonius Silalahi, seorang pemandu wisata yang Ia kenal ketika singgah pertama kali di Tuktuk, Samosir, sebuah kawasan wisata di Pulau Samosir, berseberangan dengan Parapat..
Walaupun sempat meninggalkan Danau Toba karena permasalahan Visa kunjungan, menurut penuturannya Danau Toba selalu memanggil Ia untuk selalu kembali berkunjung. Setelah selesai permasalahan Visa, bersama dengan pemandu wisata yang kini suaminya, mereka merintis sebuah restoran vegetarian yang saat ini sudah berkembang menjadi Tabo Cottages di Tuktuk, Samosir.
Pada pertengahan 1994, Annette dan Antonius Silalahi kemudian meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan dengan Adat Batak. Walaupun kurang setuju, pihak kerabat dan kedua orang tua Annette bisa menerima keputusan putrinya, dan mereka datang dari Jerman menghadiri pesta pernikahan Annette dan Antonius Silalahi. Untuk memenuhi adat, maka Annette diangkat menjadi orang Batak dan diberi marga Siallagan, dan namanya resmi menjadi Annette Horschmann boru Siallagan.
Sejak itu, Annette membuktikan keseriusannya menjadi Orang Batak dengan mempelajari Bahasa Batak dan kebudayaan Batak. Bahkan Ia pun tak segan untuk menghadiri dan terlibat langsung dalam acara-acara Adat Batak.
Annette dan Danau Toba
Kecintaannya pada Danau Toba membuat Ia berperan aktif dalam pelestarian dan penyelamatan lingkungan alam Danau Toba. Pada saat penutupan Pesta Danau Toba 2010, Annette memperolah penghargaan dari panitia Pesta Danau Toba dalam pelestarian lingkungan, karena kiprahnya membersihkan pantai Danau Toba dari eceng gondok.
Berawal tahun 2005, cerita ia, ketika eceng gondok memenuhi hampir seluruh pantai Tuktuk dan menimbulkan dampak tidak sedap bagi pariwisata daerah itu. Kala itu belum diketahui cara untuk menyingkirkan eceng gondok tersebut, selain mengangkatnya dari danau ke darat.
Annette mengajak beberapa orang untuk mengangkat eceng gondok itu, lalu mengumpulkannya dalam sebuah penampungan. "Ternyata setelah dibiarkan selama sebulan eceng gondok itu berubah menjadi kompos, yaitu pupuk organik yang sangat baik untuk pertanaman," katanya. Beberapa waktu kemudian, Vicky Sianipar dari komunitas Toba Dream dari Jakarta membuat program penghijauan tepian Danau Toba dengan menanam pohon.
"Vicky datang ke saya, butuh kompos dalam jumlah besar untuk menanam ribuan pohon. Lalu saya ajak lebih banyak lagi anak muda untuk mengangkat eceng gondok. Dalam waktu singkat pantai bersih, kondisi pariwisata membaik, sedangkan eceng gondok menjadi sumber penghasilan," katanya.
Hingga sekarang, banyak yang terlibat dalam forum pengelolaan eceng gondok bersama Annette, dan kini kompos tak lagi tumbuhan pengganggu tetapi merupakan pupuk dan media pertanaman yang sangat baik yang dibutuhkan petani.
Atas upayanya itu, Annette meraih penghargaan sebagai Most Inspiring Woman dari Monang Sianipar pada 2009, kemudian mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara 2010. "Saya melakukan itu tidak untuk penghargaan, tetapi untuk memelihara kebersihan Danau Toba dan menjaga citra pariwisata. Kalau kemudian memberi manfaat ekonomi, itu keuntungan tambahan. Fokus saya Tuktuk adalah daerah pariwisata, harus bersih dari hal-hal yang mengganggu," katanya.
Bagi Annette, Danau Toba adalah surga (paradise). "Cuaca yang tidak panas dan tidak dingin, cocok untuk menikmati hidup, terutama bagi orang yang tua," katanya. Oleh karena itu, katanya, walaupun kunjungan wisatawan asing ke Danau Toba anjlok tajam sejak tahun 1995, ada saja kelompok orang tua dari Eropa dan Amerika yang menginap di cottages miliknya. Namun, ia sangat prihatin dengan kondisi pariwisata saat ini di daerah Tuktuk dan sekitarnya.
"Persaingan sangat keras dan menjurus tidak sehat. Karena sepinya tamu (wisatawan), terjadi perebutan tamu oleh sesama hotel. Terkadang wisatawan dibohongi, misalnya dikatakan layanannya memuaskan, padahal toilet saja tidak bersih. Hal ini sangat mengecewakan tamu," katanya. Saat ini pelaku bisnis pariwisata di Tuktuk seolah menangis, merintih merindukan kedatangan wisatawan, katanya.
Ia menceritakan masa-masa mulai surutnya kunjungan wisatawan ke Danau Toba, dimulai dengan musibah tenggelamnya kapal penumpang Peldatari yang mengangkut pengunjung Pesta Danau Toba pada Juli 1997, usai penutupan pesta itu, dan menewaskan lebih 100 orang. Beberapa waktu kemudian terjadi kabut asap yang menyelimuti daerah Sumatera Utara dan pesawat Garuda Indonesia jatuh di Medan pada September 1997.
"Berita musibah itu berdampak besar. Dan seingat saya, mulai saat itulah kunjungan wisatawan ke Tuktuk menurun drastis," katanya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada 1997, serta jatuhnya Soeharto pada 1998, memperparah kondisi pariwisata Danau Toba. Sejumlah penerbangan langsung dari Eropa ke Medan ditutup, termasuk oleh maskapai Garuda Indonesia. Akibatnya, kunjungan wisatawan asing ke Sumatera Utara anjlok tajam.
Tuktuk, Pulau Samosir. Tempat tinggal Annette
Di sisi lain, tak ada upaya untuk keluar dari krisis tersebut, baik oleh pemerintah maupun industri pariwisata.
"Tidak seperti di Bali, ketika bom terjadi tahun 2002, pemerintah dan semua kalangan bersama-sama berupaya memulihkan kondisi pariwisata Bali, termasuk dengan mengupayakan hari libur akhir pekan yang lebih panjang agar wisatawan domestik berkunjung ke Bali," katanya.
Malah, katanya, sejak 2004 visa kunjungan wisatawan saat kedatangan (visa on arrival) dikenai tarif 25 dolar AS untuk kunjungan selama 30 hari, dan tidak ada kepastian apakah bisa diperpanjang. "Penerapan tarif visa ini sangat dikeluhkan wisatawan, banyak wisatawan tidak datang karena hal tersebut, terutama kalangan back-packer (petualang), sebab 25 dolar AS sangat berarti bagi mereka," kata Annette. Di samping itu, ada beberapa negara seperti Belanda tidak mendapat fasilitas visa on arrival tersebut.
Ia membandingkan, di Singapura dan Malaysia, visa on arrival tidak dikenai biaya dan berlaku selama tiga bulan, dan kemungkinan akan diperpanjang sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing. Di pihak lain, pelaku bisnis pariwisata seperti hotel, restoran dan penjual souvenir tidak berupaya memperbaiki kualitas layanan.
"Ada penjual souvenir yang sampai menarik tangan pelanggan, memaksa untuk membeli barangnya. Ini sudah keterlaluan," katanya. Kualitas akses jalan, juga minim perbaikan. Jalan raya yang mengelilingi Pulau Samosir, masih banyak yang berlubang dan sempit, dan tak ada rambu dan tanda lalulintas.
Masalah lain, soal jaminan kesehatan dan penukaran uang. "Tak ada rumah sakit, kalau wisatawan tiba-tiba sakit yang parah, harus dibawa ke Siantar, perlu waktu 2 jam perjalanan," katanya.
Fasilitas penukaran uang juga tidak ada, sementara pembayaran dengan kartu kredit tidak dilayani. "Hal ini menyulitkan wisatawan," katanya.
Walaupun sedemikian rumitnya permasalahan pariwisata yang dihadapi, Annette tetap yakin bahwa Danau Toba adalah surga pariwisata, yang sangat menarik bagi wisatawan.
Ia melihat, bandar udara di Silangit, Kabupaten Tapanuli Utara, yang hanya berjarak dua jam perjalanan darat ke Parapat, bisa menjadi pintu masuk baru wisatawan asing ke Danau Toba, selain dari Polonia, Medan, tentunya dengan akses penerbangan langsung dari luar negeri, misalnya dari Singapura, Kuala Lumpur, dan lain-lain.
"Bagaimana caranya agar penerbangan langsung dari luar negeri itu bisa terlaksana, itu menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai fasilitator sarana pariwisata," katanya. Selain itu, upaya promosi harus terus dilakukan, baik oleh industri pariwisata maupun oleh pemerintah. "Tak ada promosi, tak ada kunjungan wisatawan," katanya, dengan menjelaskan betapa sengitnya persaingan industri pariwisata dunia saat ini.
Masing-masing tujuan wisata sangat gencar mempromosikan dirinya, dengan mengikuti berbagai ajang promosi dan beriklan di media massa.
"Keindahan obyek wisata tak cukup untuk menarik wisatawan, tetapi harus dengan promosi dan jaringan kerja yang luas," katanya.
Biodata
Nama : Annette Horschmann Br. Siallagan
TTL : Wengern, Jerman, pada 21 Oktober 1967
Suami : Antonius Silalahi
Anak : Marco, Julia, dan Hotto
Pekerjaan : Pengusaha
Website : tabocottages.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar